Rabu, 21 Mei 2008

sajak-sajak A.Muttaqin

Rumah Batu

Di jantungku,
ingin kubuat rumah batu,
supaya bisa kumasukkan kau
ke situ. Lalu,
kugali sebuah telaga,
bertabur ikan mungil
yang lalu memanggil namamu.
Setelah itu,
lewat mulutku yang perih
menyusut aku menyusulmu
agar tak perlu aku berkata
untuk cinta, dan
kita sama bercanda-manda
menatap tuhan mungil
yang kubuat
dengan satu kata purba

(2008)


Ulat

Daun-daun ini yang mengajarku merapai bunyi,
menghikmati matahari yang silih-berganti dengan
baju subur berderai, memekari bunga dan mimpi,
memanggili batu dengan bahasa lampau, agar
kembali berdenyut sepurut jantungmu, memecah
selunguk rumah lapuk nan sepi, seperti saudaraku:
Sokhabatmu, yang mendengung dan terbang dari
kembang ke tembang, dari bayang ke remang.
Tapi, ia selalu berpulang ke dadamu, ke sepasang
goa mungil di gunung putihmu, di mana ia mula
membuka mata, memulai kembara, menghisapi
susu perdu dan memanggilmu ibu. Apakah dia
anakmu? Anak dari pengucapan dalamku, yang
(seperti kupu-kupu) menjauh dari ujung lidahku.

(2008)

Marley

Gerimis yang nitis di telingaku menerbangkan
pasangan codot yang bertahun-tahun menunggu di
situ. Menunggui buah kuno yang mirip mengkudu.
Seraya menukar kaki dan kepala, seolah tabik pada
tanah. Sebab jangkrik dan walang kerik tengah
bernyanyi, membagi perih dan pergi, seperti aku
yang hendak meninggi, menyusul kupu-kupu yang
terbit dari bibirmu. Kupu bersayap hijau yang
terang menjauh dari bunga tembakau ke kerdip
bintang pengacau. Sampai segala satwa melonjak
bersama katak nan sorak. Dan gerimis di telingaku
menebar benih putih, yang lebih subur dari jamur,
lebih manjur dari puisi lulur.

(2008)

Kupu Terakhir

Terbang jualah yang membuatmu bimbang,
biar tak sanggup kau menghilang,

meninggalkan sekuncup rindu di dadaku
yang tengadah mengimpikanmu:

Kau, yang memekarkan kuncup perdu
di mataku, mata batu, juga bulir padi

yang gemetar, menahan birahi mawar
dan musim memar.

Di ranting garing,
senja dan gagak terbaring,

seperti tak kuasa mengelak semerbak
yang menanjak ke ujung kening.

Dan di puncaknya yang bediding,
Kau pun datang,

membimbing ajalku
berpaling, ke puncak hening.

(2008)

A. Muttaqin, lahir di Gresik, Jawa Timur, 11 Maret 1983. Lulus Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Bergiat sastra di Komunitas Rabo Sore.

Sajak-sajak Alek Subairi

Tafsir Ikan


Telah kurindukan sengau batu hitam berlubang, tempat benih-benih bersemayam. Juga tangis kecil perempuan yang ingin sampai kepada akar-akar pohon yang membadai. Agar ada yang tetap tegak meski jejak musa ditafsir ribuan air kali. aku melihatmu melepas baju kehormatan. lantas udara mengirim salam terbuka. Datanglah seperti kau menghampiri makan malammu dengan empat orang kenalan.

Masing-masing ingin menuang air putih ke gelasmu

Orang pertama datang dari ketulusan karena engkau setia mendengar keluh kesah, meski punggungmu lumut menggigil. Dan malam yang kau sulam kembang setaman, menemukan kekasih dengan ombak kecil di dahinya. Bukankah pandanganmu telah kau jatuhkan kesemua arah? lantas kau leluasa berenang. Semakin jauh ke dalam

Orang kedua adalah kejujuran yang kau angkis dari ceruk duka. Lalu kau kabarkan kesetiaan pada mata, telinga, hidung, mulut, kelamin, juga dada yang menyembunyikan laut abad-abad yang tenggelam. Mata kirimu bersaksi saat mata kanan mengerling pada bunga ombak. lalu kau kirim alamat pada mata kaki
“Wahai mendekatlah pada yang lemah, seperti rindu nelayan pada tumpukan pasir”

Orang ketiga datang dari kerumunan. Ia dari bangsa perempuan, namanya, rahim. Bila anjing menghardik dan pintu pagar berwarna kelam, kau melambaikan pelukan seperi bisik gerimis di kebun belakang.
”Jangan tidur di kala petang. Sebab urat nadi ingin benar mendengar kepak warna yang meninggalkan rumah pelan-pelan.

Orang keempat adalah pengertian. Kadang wajahnya securam lembah. kadang perawan yang datang menirukan bunyi gamelan. Kali ini ia menutup separuh wajahnya dengan kain hitam. Mengabarkan laut yang terbelah. Lalu matanya menjadi ikan-ikan yang berenang ke dalam kalbu. Kalbu menjingga, menerima uluran tangan ibu semesta

“Paman, paman! hatiku menagkap ikan yang melompat dari kematian”


surabaya 2008

Labang mesem

Aku dulunya, airmata yang terlempar dari mata kanan anak gadis di bawah petang yang diburu. Karna seorang lelaki yang menanam biji matanya pada daun salam, telah mengasah hari depannya dengan lengkung besi. Lalu aku tumbuh menjadi sebatang pohon yang memberi naung pada tualang. “siapakah namamu dinda?” tanya seseorang yang menaruh kembang tujuh warna di akarku.

Akupun memuncak sewarna kuning pengantin. Di bawahku, umbul-umbul dan bunyi-bunyian yang mengabarkan rahasia selendang.”Wahai, siapakah di antara kalian yang kelak menerjemahkan bibirku yang bisu” lalu hujan tak datang. Orang-orang mencari sungai. Juga tetabuhan yang mengundang bianglala.”Adakah yang hendak memberi senyuman dalam kering begini?”

“Tunggu aku di bawah beringin, kanda. Jika kau setia pada biji mata yang kau tinggalkan di keningku. aku pasti datang bersama kabut tipis yang menyimpan anak-anak gerimis. dan pada hari itu, hadapkan wajahmu pada gundukan tanah, tempat gembala mengawasi kambing-kambing. Bukankah telah kau rindukan airmatamu sendiri?”

Lalu pertemuan itu, seperti maut yang mendekati orang-orang kudus, seperti gadis yang mengangguk.kepada pinangan yang dijanjikan

2008

Bunga Ombak


Gerangan apakah yang menuntun bunyi liris dari debur yang kelam
orang-orang dalam kidung berangkat menggali subuh seperti nuh.
suaranya, suara angin berulang-ulang di dahan-dahan. Adakah yang jatuh sebagai sabda pagi nanti? Lalu kerling anakku mengupas buah jamal yang jauh dari ingatan.

Hanyutlah rinduku bersama bunyi liris ke sendang-sendang. Menghijau rumput dan kenangan kepada inkarnasi. haina, haina, bulan buntung minta ditanam, bulan buntung minta ditimang. Sebab
rumahnya mau di makam

Duhai, berapa kali telah ku lagukan riang-murung ombakmu supaya
tirakatku menjelma ikan yang mengerti arah kebajikan. Lalu mataku yang majnun tak lagi berdusta pada kematian. sebab tubuhku berlayar ke palung namamu paling perempuan

Haina, berikan kecupanmu, agar laut tenang kembali.

2008




angon

akupun kembali asing ketika pohon tubuhku
menemukan musim kemuning yang membawa jejak lapar
ambillah satu dan bawa pergi kekasihmu ke tempat yang teduh

angin kecil datang dengan hembusan amat kuat
berikan tanganmu, agar aku lewati kesumat ini dengan
keringat dan tatapan yang mengurai tapal batas

lalu tak ada mimpi pada malam berikutnya. sebab udara telah
membangkitkan yang semula terpendam. aku telanjang, gusti.
dan jendela mataku melihat isyarat warna bermekaran

ku dekati yang paling hijau untuk memastikan risalah tangis
yang menjelma gerimis. lalu benih dari tualang rindu tumbuh
menjadi kerling mata kambing yang berlari ke luar pagar

berikan pelukanmu sebagai penanda kepulanganku kelak.
bahwa kau juga menanam kembang pada jejak yang kau tinggalkan
lalu kubaca air yang turun begitu ritmis.

o, mengapa menangis


november 2007

Bentuk Kematian Anjing

oleh

Dody Kristianto*


Bangkai anjing itu tergeletak di tengah jalan raya. Anjing jenis herder. Semua kendaraan berusaha menghindari bangkai anjing itu. Situasi jalan sedang ramai. Maklum, pagi hari ketika orang harus pergi ke tempat kerja. Tidak ada satu kendaraan pun yang berani melindas bangkai anjing itu.

Tubuh anjing itu terbelah menjadi dua bagian : bagian kaki ke ekor dan bagian kaki sampai kepala. Pada bagian kaki sampai ekor, tubuh itu telah burai, hancur berkeping-keping sehingga daging anjing itu berceceran. Sudah tak dapat lagi dikenali. Sedangkan bagian kaki sampai kepala masih utuh. Seolah nampak kalau hewan itu hanya tidur. Tidak ada sesuatu yang terjadi padanya.

Lidahnya nampak merah muda menjulur. Taring-taringnya masih terlihat utuh walau sedikit kekuningan. Tatapan matanya tampak mengarah ke depan. Kosong. Tapi sedikit terasa aneh, karena sepasang bola mata hewan itu seperti menyimpan sebuah dunia. Dunia yang dilihat dan ada dalam pikirannya.

Lalat-lalat pun berkerumun di bagian belakang bangkai anjing. Hewan-hewan kecil itu tampak menari menikmati daging segar yang berserakan. Bau bangkai itu masih segar. Tidak anyir seperti lazimnya bangkai tikus yang biasa tergeletak di sembarang tempat. Kesegaran daging bangkai anjing itu tentu menarik sebagian pengguna jalan. Walau sebisa mungkin mereka menghindar dari tumpukan daging itu, mereka tidak bisa menyembunyikan ketertarikan mereka pada pemandangan langka tersebut.

Waktu hampir menunjukkan pukul 7 pagi. Tak ada yang berani menyentuh bangkai anjing itu. Bahkan kendaraan-kendaraan yang melintas sebisa mungkin tidak menginjak dan membuat keburaian bangkai itu bertambah parah. Lalat-lalat masih terlihat mengerubungi bagian belakang bangkai anjing.

***

Pukul 8 pagi. Polisi mulai mengevakuasi bangkai anjing itu. Karena satu jam sebelumnya, jalanan dibuat macet karena bangkai yang tergeletak di tengah jalan. Evakuasi tentunya tambah memadatkan jalan. Bahkan tak jarang polisi harus mengatur arus lalu lintas. Sementara tim yang lain mengangkat bangkai anjing itu. Dua polisi yang menangani bangkai itu.

Bagian depan, kaki ke kepala bias terangkat dengan mudah. Tapi untuk bagian belakang, kaki ke ekor, mereka harus melakukannya dengan teliti dan hati-hati. Sebab bagian itu sudah berupa ceceran daging dan bercak-bercak darah yang mulai mengering. Ceceran daging harus dibersihkan dari aspal jalan agar tidak meninggalkan bau anyir menyengat yang bisa mengganggu pengguna jalan.

Sekitar satu jam evakuasi itu berlangsung. Polisi mulai meninggalkan lokasi tergeletaknya bangkai anjing itu. Lalu lintas sudah mulai lancar. Tentu noda bercak darah masih tertinggal di aspal jalan. Lalat-lalat kini berebut mengerubungi bercak darah yang mulai mengering.

Sementara, bangkai anjing itu berada di atas mobil polisi. Polisi menumpuk dua bagian yang terpisah itu. Bagian yang telah hancur di bawah dan yang masih utuh di atasnya. Tatapan mata bangkai itu masih menatap kuat. Masih tetap kosong. Seakan mata itu sulit dipejamkan. Tatapan itu seperti menyimpan sebuah dendam.

***

Seperti anjing-anjing yang biasa berseliweran di daerah itu, anjing itu pun tidak terlalu terlihat istimewa. Ia juga melakukan rutinitas seperti anjing jalanan yang lain. Mengais makanan sisa di tempat sampah, terkadang berkelahi memperebutkan makanan atau pasangan, juga bersetubuh dengan anjing betina di sembarang tempat. Sampai akhirnya mencari tempat untuik berteduh.

Yang membedakan ia dengan anjing-anjing yang lain adalah ia bertubuh lebih besar. Bulunya sedikit berwarna gelap. Kendati demikian, hal tersebut tak lantas membuat anjing-anjing lain takut padanya. Sebab ia bukanlah anjing yang tumbuh besar di jalanan. Ia sebenarnya anjing penjaga rumah.

Anjing dulu mempunyai seorang majikan. Majikan yang sangat baik dan menyayanginya. Semenjak kecil anjing itu dirawat dan tinggal bersama dengan keluarga si majikan. Anak-anak si majikan kerap bermain dengan anjing itu. Anjing itu menjadi bagian dari keluarga itu.

Sang majikan setiap pagi dan sore selalu mengajaknya berkeliling kampung. Anjing itu melangkah gagah, seolah tak memperhatikan sorot tajam anjing lain yang tertuju padanya. Pada setiap malam, anjing itu juga sigap menggonggong pada setiap gerak-gerik mencurigakan yang ia tangkap di sekitar rumah sang majikan. Gonggongan yang sangat memekakkan telinga.

Namun, anjing itu menangkap bentuk aneh suatu ketika. Bentuk bayangan putih berbau menusuk. Bentuk bayangan putih itu membelah angin, memerosok ke dalam pepohonan hingga menimbulkan suara gemerisik. Suara yang mungkin akan membangkitkan orang-orang yang tertidur. Tapi anehnya, tak ada orang yang terbangun. Pun hewan-hewan yang berada di sekitar bayangan putih itu. Hanya anjing itu yang tahu. Hanya anjing itu. Anjing itu pun menggonggong sebagai wujud rasa penasaran terhadap bentuk aneh tersebut.

Bentuk bayangan aneh acapkali berkelebat di hadapan anjing itu. Sehingga hanay anjing itu yang mengakrabi bentuk aneh tersebut. Si majikan juga bingung dengan perubahan yang terjadi pada anjingnya. Saat si majikan melihat anjingnya menggonggong, ia menatap tak ada sesuatu di depan. Sesuatu yang kerap digonggongi oleh anjingnya.

Kebiasaan si anjing yang menggonggong tanpa sebab mengakibatkan bising dalam keluarga itu. Tak hanya keluarga itu, namun juga rumah di sekitar keluaraga itu. Mereka semua dibuat jengkel. Lama-lama sang majikan tak tahan juga. Diusirnya anjing yang sudah beberapa tahun mereka pelihara. Mereka merasa jika anjing itu sudah gila.

Anjing itu tak peduli. Ia tetap menggonggongi bayangan putih yang kerap melintas tiba-tiba di depannya. Lemparan sandal, sepatu maupun batu yang dilakukan orang-orang padanya tidak digubris. Hanya bayangan putih. Hanya bayangan aneh itu yang selalu mengganggu otaknya. Ia sampai menggonggong berhari-hari hanya karena rasa ingin tahu.

Suatu malam, anjing yang sedang tidur di bawah emperan toko itu dikejutkan oleh bayangan putih. Entah untuk keberapa kali. Anjing itu pun tergeragap. Ia terbangun karena bau menusuk yang ditimbulkan oleh bayangan aneh. Hewan itu mulai mengejar bayangan putih. Situasinya benar-benar mirip ketika si majikan melempar tulang dan anjing itu harus mengejarnya. Tapi yang dikejar saat itu bukan tulang. Yang dikejarnya adalah bayangan putih. Ia berusaha mendekap bayangan itu.

Sampai beberapa meter jauhnya, anjing itu tidak merasa bila ia telah mengejar bayangan putih hingga jalan raya. Jalan raya yang terlihat sepi. Hanya anjing itu berlari sendirian. Tiba-tiba dari arah selatan muncul truk tronton yang melaju kencang. Pengemudinya merasa tidak melihat apapun di depan. Sedang anjing penasaran itu akhirnya bias merengkuh bayangan aneh. Kakinya mencakar-cakar. Moncongnya menggigit. Ia mempermainkan sesuatu yang selama ini membuatnya penasaran. Ia melakukannya di tengah jalan raya yang sepi.

Dan tabrakan akhirnya 5tak terelakkan. Anjing itu terlindas, tepatnya di bgian belakang. Seketika ia melolong. Tubuhnya terbelah. Bagian belakang hancur lebur. Daging-daging berloncatan. Sedang bagian depannya masih utuh. Cakar anjing itu masih berusaha mengais bayangan putih yang perlahan lepas dari dekapannya. Lidahnya menjulur seolah merasakan sakit yang ia rasakan. Kakinya masih terlihat bergerak dengan interval yang mulai melambat. Sementara bayangan aneh itu makin bergegas jauh. Begitu juga dengan truk yang telah melindas bagian bagian belakang tubuhnya. Anjing itu akhirnya terdiam dengan tubuh yang terbelah jadi dua bagian. Sedangkan cuilan daging-daging segar berceceran di tengah jalan.

***

Pihak kepolisian memutuskan untuk mengubur bangkai hewan malang itu di halaman kosong. Sebuah area berjarak beberapa meter dari kantor kepolisian. Bagian tubuh yang hancur dibungkus dengan tas plastic. Sedangkan bagian tubuhnya yang masih utuh dibiarkan. Lubang berukuran 1x1 meter disiapkan, dengan kedalaman kira-kira semester juga. Kedalaman yang kiranya cukup untuk menutup bau bangkai yang menyengat.

Bagian belakangnya yang hancur ditaruh terlebih dulu. Baru setelah itu bagian yang masih utuh. Tatapan mata bangkai anjing itu masih tetap tajam. Ia menatap bayangan putih yang membuatnya penasaran. Dunia disekitarnya berubah menjadi bayangan putih. Bayangan yang mengelilinginya, sesaat sebelum bangkainya dipendam di dalam tanah.


*) Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Aktif di Komunitas Rabo Sore (KRS).